<meta name='google-adsense-platform-account' content='ca-host-pub-1556223355139109'/> <meta name='google-adsense-platform-domain' content='blogspot.com'/> <!-- --><style type="text/css">@import url(https://www.blogger.com/static/v1/v-css/navbar/3334278262-classic.css); div.b-mobile {display:none;} </style> </head><body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d8620144162844934785\x26blogName\x3dTelling+Stories\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://secretedsecrets.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://secretedsecrets.blogspot.com/\x26vt\x3d1954700304280263053', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Hello
Uca. Sixteen. A girl, a sister, a daughter, a friend, a bestfriend, an enemy, a student, a partner, a lover, a saint, a sinner, a liar, an honest, an inconsistent, a softball player, a council's member, a lisp, or else. And am doing an usual-till-amazing teenage-life everyday!

Tagboard

ShoutMix chat widget

Links
Raya Novarian

CREDITS
FONTS. swimchick
IMAGE. as credited.
CODES. shotgun
DESIGNER. sheryl

ARCHIVES
June 2009
November 2009
March 2011
April 2011
May 2011
June 2011
July 2011
August 2011
September 2011
October 2011
November 2011
December 2011
September 2012

Sunday, October 09, 2011

4:29 PM
Friday, October 07, 2011
13 November

13 November

Minggu, 13 November 2012

Ia sebenarnya benci mengapa manusia-manusia terdahulu selalu menyangkutpautkan tahun ini dengan akhir waktu. Tahun ini, 2012, adalah tahun di mana seluruh remaja yang lahir pada tahun 1994 mendapatkan kebebasan penuh akan hidupnya. 17 tahun. Kartu Tanda Penduduk sendiri. Ia akan menjadi dewasa dengan cepat, melebihi krisan oranye yang tumbuh di satu petak musim semi tahun ini. Hari ini ia berumur 17, menjadi seorang perempuan muda yang memiliki perspektif berbeda dari ‘ia yang terdahulu’. Tidak labil lagi, mengerti apa yang harus ia lakukan dengan benar, uh, kedengarannya sangat sulit.

Serangan pusing mulai merayap secara sporadis ke kepala Amanda. Gadis itu melirik ke arah meja kecilnya yang bertengger di sebelah tempat tidur, tidak terlalu terperangah saat menemukan angka 07 dan 05 pada jam digital yang ia letakkan di atasnya. Bau kayu eboni dicampur dinginnya aroma salju merangseng memuakkan, berdesakan ingin masuk dalam oksigen yang Amanda hirup dalam keratan nafasnya yang berat. Suhu ruangan pagi ini hanya 16 derajat Celcius, dan ia memang merasa beku sekujur tubuh. Ia ingin saja dengan mudah menenggelamkan tubuhnya lagi dalam selimut, tapi rasanya ada sesuatu yang menahannya, maka ia kembali menatap langit-langit dalam posisi telentang.

Uhm, halo dunia.

Amanda mendengus geli menyadari dirinya belum berubah. Tidak pula bisa mengatakan, walau dalam hati, bahwa dirinya sudah 17. Ia masih saja gadis kecil yang susah bangun pagi, susah membuka mata, susah menerima fakta bahwa ia sudah dewasa. Angka 17, kue berlilin angka 17, ia terperosok dalam euphoria ulangtahunnya. Hey, ini normal, kan? Setiap orang dalam ulangtahunnya selalu memikirkan hal yang sama, kan? Ya, ya, tentu. Dirinya saat berumur 16, 15, 14, juga begitu.  Akan tetapi, bisa kalian lihat, kan? Dia masihlah sama dengan Amanda yang dulu. Kedua bola mata abu-abu yang terkesan misterius, hidung tidak terlalu mancung, kulitnya yang pucat terang, bibir bawah yang penuh, dan rambut ikal sepunggungnya yang berwarna cokelat tua. Gadis itu berukuran tinggi rata-rata, dengan tubuh ramping khas gadis-gadis Marseilles. Dan hingga saat ini, ia sama sekali tidak merasakan perubahan terhadap dalam dirinya pada satu malam terakhir, yang berarti dia masih belum berubah dari Amanda yang kemarin. Sama. Persis.

Amanda beranjak dari tempat tidurnya dengan senyum, gerakannya menyebabkan adanya angin yang menghembuskan bau furnitur kuno yang terkesan dingin karena cuaca. Ujung sikunya menyentuh jendela, menggerakkannya hingga terbentuk lingkaran, dan orb kelabunya dapat memandang sepanjang jalan Madison Avenue dengan gembira.

BEEP...BEEP...

Amanda menggulirkan bola matanya, menatap handphone miliknya yang ia letakkan di atas meja yang sama dengan jam digitalnya. Ada perasaan yang bergelenyar dalam dirinya, sesuatu yang panas dalam darahnya mengalir hingga ke tepian kulit. Jantungnya jatuh dari tempat yang seharusnya.

Ah, jangan kekanak-kanakan, Amanda.

Messages (31)
13-Nov-2012

Gadis itu mengambil handphone-nya dengan getir. Ia membuka satu-satu pesan yang masuk, berharap ada satu, satu saja, dari Adam… Matanya mengikuti list nama-nama yang mengiriminya pesan dengan cermat, tak ingin ketinggalan satu namapun, terutama yang bernama Anderson Adam… Mana… MANA?

Tidak ada satupun nama itu dari 31 SMS yang masuk yang mengucapinya Selamat Ulang Tahun dengan riang. Sejahat itukah? Ah, Amanda masih ingat kejadian kemarin malam, dan Adam tak mungkin memaafkannya. Sudut bibirnya tertekuk ke bawah. Sebenarnya ia juga tidak mau membentak sahabatnya itu satu hari sebelum ulang tahunnya datang hanya karena hal remeh. Sekarang mungkin Amanda sudah kehilangan satu teman dekat, dan yang lebih parah lagi, ia tidak hanya menganggap pemuda itu sebagai teman dekat saja…

Alisnya terangkat dengan segera saat mengingat sesuatu dengan tiba-tiba, langkahnya cepat menuju meja mahoni yang lebih tinggi, tempat di mana ia biasa mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Tangannya gesit memilah buku-buku pelajaran, hingga akhirnya serabutan mengacak-acak isi meja itu. Ia mengacak rambut ikalnya yang memang sudah berantakan belum tersisir, hingga akhirnya sudut matanya menangkap imaji berwarna keabuan di bawah meja tersebut. Amanda menariknya, dan menjatuhkan tubuhnya hingga ia terduduk di atas tempat tidurnya dengan Macbook di pangkuan.

Gadis itu keras kepala membuka seluruh social-sites yang ia miliki. Facebook, Twitter, Plurk, MySpace, Yahoo! Messenger, hingga Friendster. Amanda getir menatap layar Macbook-nya. Ada suatu rasa bersalah yang sewajarnya ia miliki seperti saat ini, saat mengetahui orang yang kau masukkan dalam masalah belum memaafkanmu. Rasanya kamar itu makin menggelap saja. Satu kandelir besar dengan penerangan minim tidak cukup menutupi rasa kalutnya dan dingin udara yang dibawa musim salju tiap tahunnya. Semuanya terasa lebih menyudutkannya. Jemarinya menelusuri satu-satu pesan yang ia terima dalam masing-masing situs tersebut...

Tetap tidak ada.

Amanda terhenyak dalam tempat tidurnya, menutup mukanya dengan selimut. Ini hari ulang tahun terburuk sepanjang umurnya. Pemuda bermata cokelat itu tidak mengiriminya ucapan, atau bahkan lupa. Anderson muda itu tidak mengiriminya apapun, bahkan selayaknya teman saja…

***
Mr. Wayne cegukan lagi. Semburat merah merona lagi pada kulitnya yang putih, bergumul di pipi sewarna tomat jadinya. Di tangannya terdapat gelas berisi wine merah yang setengah penuh, terguncang ke sana ke mari seiring tubuh ayahnya yang cegukan. Bagi Amanda, pemandangan seperti itu sungguh mengganggu. Ia menyuap satu kentang rebus lagi ke dalam mulutnya, memaksakannya tertelan dengan seteguk susu yang ia minum bersamaan.

“Aku izin ke atas.” ujarnya lebih kepada Mrs. Wayne yang tengah membersihkan peralatan makan bekas sarapan tadi. Amanda mengelap mulutnya sebelum melangkah berdiri dari ruang makan. Mengacak rambut adik kecilnya yang sedang kalap bermain action figure Power Ranger di ruang tengah. Ia menaiki tangga melingkar ke atas, berhenti sebentar untuk sekedar memaku matanya pada pemandangan kota Marseilles yang tengah bersembunyi di belakang awan. Amanda sengaja mencegah tatapannya berputar sedikit ke timur, di mana keluarga Anderson menetap hanya beberapa blok dari rumahnya.

Ia meneruskan langkahnya, terus memasuki ke kamar dan menghangatkan diri dalam selimut. Impuls tubuhnya menarik handphone-nya dari atas meja. Benda itu baru saja bergetar dan layarnya menyala, menunjukkan tulisan yang tertera pada permukaannya. Amanda meliriknya dengan sedikit jengah.

Messages (1)
13-Nov-2012

Dengan berharap-harap cemas, berharap sms itu berasal dari Adam, ia mengambil telepon genggamnya dan segera membuka messagenya. Senyuman cerah terpancar dari wajahnya ketika ia berhasil membaca pesan yang ada di layar handphonenya.  Anderson Adam.

Amanda, temui aku di Madison Park jam 1 tepat. Jangan terlambat.

Begitulah bunyi pesan yang tertera di layar handphonenya. Singkat, tak ada ucapan selamat atau apa pun, dan...pengirimnya Adam Anderson. Dan harus kau tahu betapa bahagianya sang gadis muda itu ketika membaca pesan tersebut. Segala macam prasangka baik dan buruk berkecamuk di dalam benaknya. Ia gusar. Ia sama sekali tak mengetahui apa yang sedang direncanakan oleh si sahabat, entah apakah Adam akan memarahinya atas ulah bodohnya tadi malam, atau justru Adam akan memaafkannya dengan begitu mudahnya dan memberikan hadiah ulang tahun untuknya. Tidak tahu. Ia pasrah dan sudah lelah berspekulasi karena ia sama sekali tidak bisa mendapatkan jawabannya. Nihil. Lebih baik hadapi saja semuanya pada waktunya.

Benar adanya jika kau menyimpulkan Wayne muda itu menyukai sang sahabat. Sebenarnya, perasaan itu hanya berawal dari rasa nyaman yang ia rasakan saat sedang bersama Adam, tapi, entahlah...ia sendiri bahkan belum bisa meyakini perasaannya. Amanda sebenarnya bukan tipe orang yang bisa dengan mudah akrab bergaul dengan laki-laki. Ia adalah orang yang baik hati, ramah, dan mudah bergaul pada orang-orang disekelilingnya. Banyak orang yang menyukai dan senang pada Amanda, Amanda sendiri juga menyukai fakta bahwa ia dapat berteman dengan banyak orang. Akan tetapi, diantara banyak teman yang ia miliki hanya sedikit yang ia percayakan untuk menjadi sahabatnya. Satu diantaranya adalah dia—Adam Thomas Anderson.

Secara fisik, Adam Anderson hanyalah seorang anak laki-laki biasa dalam kesehariannya. Yah, mungkin Adam termasuk dalam kategori “sepuluh besar anak laki-laki paling ganteng” yang ada di Midwestern High School—sekolah mereka—akan tetapi bukan pada posisi pertama atau terakhir. Adam memiliki rambut sewarna tembaga yang dipotong pendek dengan kesan berantakan, hidung mancung, kulitnya yang pucat, rahang yang kokoh, dan deretan gigi rapi yang tampak saat lelaki itu menampilkan senyumannya. Tinggi Adam kira-kira sama dengan anak laki-laki seumurannya, dengan tubuh atletis hasil dari rutinitas ekstrakulikulernya bermain American Football. Dan—ini bagian favorit Amanda—Adam memiliki bola mata berwarna cokelat pekat, brown eyes, dibingkai oleh alis tebalnya yang memberikan kesan tegas. Menawan. Memancarkan sosok Adam yang sering membuat lelucon namun tegas. Indah dan kokoh.


Bola mata kelabunya bergulir, menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dan akhirnya berhenti pada satu titik, jam dindingnya. Jarum pendeknya masih menunjukkan ke deretan dua angka 1 dan jarum panjangnya ke angka 12. Jam sebelas, masih ada waktu dua jam lagi sebelum janjinya untuk bertemu dengan Adam. Baguslah, setidaknya ia masih bisa bersantai. Yah, sedari dulu gadis berusia tujuh belas tahun itu terkenal dengan sifatnya yang sering terlambat. Sebenarnya dia sudah berusaha untuk datang tepat waktu, akan tetapi selalu saja ada hal yang membuatnya terlambat.

Dia—gadis berkulit pucat itu—kini tengah terhanyut dalam lantunan koleksi lagu-lagu yang ia simpan di iPod kesayangannya sembari duduk di balkon kamar. Amanda menukai musik semenjak ia kecil. Sejak usia empat tahun ia mulai mempelajari piano. Orangtuanya juga penggemar musik sejati, jadi bukanlah merupakan hal yang aneh jika Amanda juga memiliki bakat dalam musik. Begitu pun halnya dengan Adam. Keluarga Anderson bahkan terkenal sebagai seniman. Mr. Anderson merupakan pelukis bergengsi kelas atas sedangkan Mrs. Anderson merupakan seorang guru kesenian di salah satu Universitas Seni ternama di Prancis. Sedangkan Adam sendiri ahli dan piawai dalam hal memainkan gitar, bass, dan drum. Berbeda dengan Amanda, Adam sama sekali tidak pernah mengikuti les musik, dia mempelajari semuanya secara otodidak, berdasarkan bakat dan kemampuannya sendiri.

Waktu memang sama sekali tak bisa diajak berkompromi. Saat kau menginginkan agar waktu berjalan lambat, waktu justru bergulir dengan sangat cepat dan di saat kau menginginkan waktu berjalan cepat, justru jarum jam terlihat seakan-akan tidak bergerak. Sugesti, sayang. Itu semua bergantung pada sugesti yang kita tanamkan pada otak kita. Dan kini ia mulai merangkak ke alam bawah sadarnya...

***

Desiran angin musim dingin mengibarkan helaian rambut cokelatnya. Gadis itu kini tengah berdiri di Madison Avenue Park, sendirian. Ya, sendirian. Sekarang ia kembali harus menyesali perbuatannya. Lihat, kan? Sebagaimana pun ia berusaha untuk tidak terlambat, nyatanya ia tetap saja tidak datang tepat waktu ke tempat yang diberitahukan oleh Adam. Ia tidak sengaja terlelap dan tertidur pulas, ia bahkan baru saja bangun. Tanpa basa-basi ia segera melilitkan syal berwarna gading miliknya dan memakai sepatu bootsnya dengan gerakan cepat, lalu dengan setengah berlari, ia meninggalkan rumah dan menuju ke Madison Avenue Park.

Dan sekarang ia di sini sendirian, kedinginan. Dengan pakaian hangat yang seadanya. Sweater biru dongker, syal, rok lipit, dan sepatu boots andalannya. Ia duduk di salah satu bangku sembari menggenggam erat handphonenya di kedua telapak tangannya. Tanpa mengeceknya. Ia jarang sekali mengecek handphone, hanya jika ia merasakan vibration tanda adanya sms atau panggilan masuk. Dan ia sama sekali tidak merasakan adanya getaran, karena itulah ia tidak bersusah payah untuk mengecek. Ia juga tak ingin meng-sms Adam karena ia tahu Adam pasti akan kesal sekali padanya. Ia terlalu takut.

Dikalahkan oleh rasa bosan, akhirnya ia membuka handphonenya juga. Betapa terkejutnya Amanda saat ia menemukan 11 missed call dan 7 sms. Tanpa perlu berpikir panjang, ia segera menekan nomer Adam dan mencoba untuk menghubunginya. Nada sambung membuat kegelisahannya semakin menjadi-jadi, syukurlah yang di seberang sana mengangkat teleponnya.

“Halo, A...”

“DARIMANA SAJA MISS WAYNE?”

“Maaaaf, maaf maaf maaf!! Aku ketiduran. Maafkan aku Adaaaaam,”

“Dimana kau sekarang?” 

“Memangnya kau ada dimana?”

“Dimana kau sekarang, Amanda Bernedette Wayne?”

“Di Madison Avenue Park, Monsieur.

“Oke, tunggu sebentar. Aku segera ke...”

TUUUUUUUUUT.

Dan sambungan telepon itu terputus begitu saja. Tanpa kata-kata perpisahan. Amanda sedikit terheran, tidak biasanya Adam memutuskan telepon sebelum pembicaraan mereka selesai. Tiba-tiba firasat buruk menyergapnya, mencekamnya dan membuatnya sesak bernapas. Tapi ia berusaha menepis perasaan itu jauh-jauh dan memilih untuk membaca-baca pesan dari Adam yang tadi belum sempat ia baca. Ia tersenyum simpul, menganggap rangkaian kata demi kata yang dibuat oleh Adam sebagai hal yang lucu. ‘Hhh, dimana Adam sekarang?’ ia terus menggaungkan pertanyaan itu dalam benaknya.

Setengah jam sudah ia menunggu di salah satu bangku Madison Avenue itu dan habis sudah kesabarannya. Dimana sih, Adam? Apakah ia berniat untuk membalas kelakuan Amanda yang tidak pernah datang tepat pada waktunya? Dengan satu gerakan gesit, ia mengeluarkan handphonenya dan memilih untuk menyibukkan diri dengan handphonenya, mulai browsing internet. Saat ia tengah membuka salah satu situs sosial miliknya, tiba-tiba mengalun lagu Fireflies—lagu lama, kalau tidak salah dikeluarkan pada tahun 2009 oleh Owl City—yang merupakan nada deringnya. Ia melihat siapa yang meneleponnya dan berharap itu Adam. Saat ia melihat nama “Anderson Adam” yang muncul pada display handphonenya, segera ia menekan tombol jawab dan berbicara panjang lebar.

“Halo, Adam? Sebenarnya kau ini ada dimana sih? Aku sedari tadi masih ada di Madison Avenue Park dan menunggu kedatanganmu, tahu. Kau ada dimana sekarang?”

“Halo, Amanda?”

Amanda diam sejenak. Suara ini bukanlah suara Adam. Tapi lebih mirip dengan Harry—Harry Bennington, teman sekelas mereka sekaligus teman Adam bermain Football yang Amanda tahu cukup dekat dengan Adam—kenapa handphone Adam bisa ada di Harry?

“Err, ya? Ini siapa ya?”

“Amanda, ini aku Harry. Dengar, ada yang harus kau ketahui tentang Adam...”

“Memangnya apa yang terjadi pada Adam? Ia baik-baik saja kan? Dan kenapa handphone Adam bisa ada padamu?”

“Maafkan aku, Amanda. Tapi aku harus menyampaikan kabar buruk. Adam kecelakaan dan sekarang sedang koma di St. Boromeus. Menurut dokter, ia mengalami pendarahan pada otaknya dan dokter bilang dia tidak bisa membantu  banyak. Terlalu banyak kerusakan pada bagian-bagian vitalnya—wajar saja, apalagi ia tertabrak bus dan terlempar sejauh tiga meter—eh, Amanda, kau masih di situ kan?”

Dan tiba-tiba semuanya terasa gelap.

***

Gadis usia 20 tahun itu masih mengingat semuanya dengan sangat jelas. Seberapa parah tangisannya begitu ia sadar dari pingsannya waktu itu, seberapa hancur hatinya saat mengetahui penyebab kematian Adam adalah karena Adam terburu-buru ingin membeli rangkaian bunga Lili kesukaan Amanda, seberapa sedihnya ia saat mendapatkan kado yang tadinya akan diberikan oleh Adam. Kadonya sederhana, hanya sebuah teddy bear dan syal berwarna gading. Di dalamnya, Adam menyelipkan surat yang berisikan tentang permintaan maaf Adam, dan ungkapan betapa Adam menyayangi Amanda kecilnya. Dan bagian tersulit adalah saat ia membaca kalimat terakhir. Di sana Adam meminta Amanda untuk menjadi pacarnya. Bukankah hidup begitu ironis?

Gadis berambut cokelat itu akhirnya bangkit dari posisinya semula, berniat untuk beranjak pergi dari batu nisan itu. Karena ia tahu, ia tak akan sanggup membendung tangisannya jika ia bertahan di situ lebih lama lagi. Ia bersyukur karena Tuhan telah memberinya ketegaran setelah selang waktu tiga tahun persis dari kejadian itu, dan Amanda tak berniat menyia-nyiakannya. Segera ia melangkahkan kakinya menjauh dari batu nisan berukirkan nama sahabat yang ia sayangi. Adam Thomas Anderson. Sesekali, ia menoleh ke belakang. Tetapi ia sekarang sudah cukup dewasa dan kuat untuk tidak menangis. Sepintas, ia teringat pada kata-kata yang sering diucapkan oleh Adam.

“Kehidupan memang kejam, tapi Tuhan cukup adil dalam mengatur segalanya.”

Kau benar, Adam. Selamat jalan, I love you.




Hai, ini cuma iseng aja pengen nge post hasil cerpen gara-gara baca blog Puput dan banyak cerpennya hehehe. Ini cerpen pas tugas kelas X. Credits to Salsabila Panji Arum untuk ide dan beberapa paragraf awalnya. Without you, I wouldn't be able to make this, Dear. Berantakan ya? Pastinya, tapi yah silahkan dinikmati saja deh. Thanks for Reading! ;)
8:58 PM